Rob
Rob kuliner adalah cabang olahraga

Menjaga Kewarasan

Menjaga Kewarasan

Dalam beberapa hari terakhir ini, tantangan terbesar untuk kita sebagai warga negara, adalah menjaga pikiran kita sendiri untuk tetap sadar dan waras. Banyak sekali isu yang sebenarnya tidak menyangkut harkat masyarakat secara langsung, namun karena ini adalah era pengadilan moral tengah berlangsung, kita diseret-seret untuk menonton, mengikuti dan mengomentari segala macam urusan tersebut. Mulai dari kasus di institusi pengayom, penembakan fauna oleh abdi negara hingga isu remeh temeh soal seorang suami founder ojek online yang tengah mencuci piring.

Bangsa ini diminta untuk menjaga kewarasan, di tengah masa di mana kita harus memikirkan nasib dapur setelah inflasi dan kenaikan komoditas pangan. Tapi, ya memang salah sendiri. Masyarakat sudra ini memang suka magang jadi Tuhan dan menjadi pawang moral bangsa. Mungkin karena di kehidupan nyata, kita ini tidak berdaya. Seperti anak - anak yang menyukai sosok superhero, karena perasaan dan pelarian dari situasi powerless. Jari dan pikiran liar menyatu, bukannya untuk mencari cara keluar dari jerat kemiskinan, tapi malah jadi hakim garis moral.

Hidup sudah tidak mudah, masih ditambah resah. Resah yang tak perlu pula. Selain memperbaiki situasi tingkat minat baca yang berada dalam level “miris”, stunting juga masih merupakan masalah besar di negara ini. Jangankan berbudaya baris, perut saja masih lapar. Jadi jangan meminta standar tinggi untuk masyarakat yang perut saja kosong. “Laper Bego, Kenyang Ngantuk”.

Waras itu susah didapatkan, terutama di pagi hari. Karena sebagai warga negara dunia ke tiga yang begitu mencintai gawai, pagi hari kita sudah tidak lagi diisi dengan sarapan berita bermutu, namun perkelahian daring yang tidak perlu. Disibukkan untuk membela idola, pemengaruh dan hal - hal yang sebenarnya memandang mereka hanya sebatas angka dan valuta saja. Penjaja kebahagiaan ini memang luar biasa.

Ketika sudah ingin waras, kemudian tersadar pula. Ternyata selain budaya berpakaian, seni dan teknologi, ternyata ada budaya lain yang kita benar - benar adopsi dan tiru. Namanya “Cancel Culture”. Puncak dari kewarasan memang sudah kabur oleh batas moralitas semu. Kita lebih rasial dari apa yang kita pikirkan, karena kita tak hanya menilai dari tampilan luar dan memberikan label, namun kita juga mengesampingkan pengadilan resmi, hak membela dan bersuara. Label - label itu kita goreng dan sematkan ke siapapun yang kita anggap perlu.

Waras itu serba mahal, karena kepercayaan kita terhadap apapun sudah otomatis dinegasikan. Sudah tahu rentan misinformasi, tapi mudah percaya. Terlalu sulit untuk percaya kebenaran, membuka pikiran untuk pandangan lain. Post truth bukan lagi post truth yang kita kenal dulu, dia kini sudah tersohor.

Henry Manampiring sudah menuliskan buku Filosofi Teras dengan baik, namun kita masih juga mengurusi hal yang di luar kendali. Energi masyarakat ini sebenarnya terbatas, tapi dihabiskan untuk hal yang benar - benar tidak diperlukan. Kita mencoba mencari eksistensi di publik, hanya karena traksi dan impresi semu.

Di rumah pun juga sulit untuk waras, ketika tuan rumah lebih memilih mengurusi keluarga daringnya lewat kolom - kolom komentar di media berbagi gambar, daripada memastikan si buah hati bebas rasa lapar - lapar edukasi dan nalar. Tanpa sadar, kita memulai regenerasi hakim moral dari rumah. Kita juga menolak bertanggung jawab atas kegagalan kita memenuhi hak eksplorasi anak, namun meminta mereka untuk memuaskan fantasi - fantasi hedonis kita. Kita membesarkan anak seperti menyiapkan ayam umtuk disabung.

Kredit Foto : Photo by Mahdi Bafande on Unsplash

comments powered by Disqus